Minggu, 30 Desember 2007

Katsuwiryo,Mujahid Yang Istiqamah


Bismillahiirahmanirrahim

Berbicara tentang Kartosuwiryo yang nama lengkapnya adalah Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, tidak terlepas dari kegiatan awalnya dalam partai politik paling pertama di Indonesia, yaitu Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).

Sebagai orang kepercayaan H.O.S. Cokroaminoto yang terkenal itu, maka Kartosuwiryo pernah menjabat Sekjen partai tersebut pada tahun 1931. Dan kemudian tetap duduk dalam pucuk pimpinan partai tersebut sampai pada tahun 1939, pada tahun mana beliau dipecat dari PSII karena perbedaan visi politik dengan beberapa tokoh partai tersebut, tentang konsep hijrahnya Kartosuwiryo. Seperti diketahui, Syarikat lslam adalah sebuah partai politik yang mempunyai disiplin baja dan bertindak keras terhadap siapapun yang melanggar disiplin organisasi. Dalam SI tidak ada tokoh yang besar atau kecil. Di mata organisasi, semua orang sama derajatnya. Maka tidak usah heran, jika tokoh-tokoh seperti Dr. Sukiman, Agus Salim, A.M. Sangaji, Mr. Mohammad Roem, Kartosuwiryo, Abikusno dan terakhir, Anwar Cokroaminoto, semuanya mengalami tindakan pemecatan dari Syarikat Islam.

Dan terhadap Muhammadiyah, sayap moderat Syarikat Islam (karena didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, salah seorang anggota pucuk pimpinan SI di bawah Cokroaminoto) pun dikenakan disiplin organisasi. Sebabnya, karena Muhammadiyah menerima subsidi (uang) dari pemerintah kolonial Belanda mulai 1926 di saat orang-orang lain melawan dengan sengitnya.

Bukan saja SI yang "marah" pada Muhammadiyah, tapi juga kaum pergerakan lainnya. Mr. A.K. Pringgodigdo, dalam bukunya yang terkenal: "Sejarah Pergerakan Rakyat Indonsia", mengatakan bahwa Muhammadiyah telah berada di luar pagar perjuangan. Penyakit "mengemis" dan meminta bantuan pemerintah itu tetap berlanjut sampai akhir ini. Dan hal inilah yang melemahkan semangat juang Muhammadiyah, dan karena ini pula Muhammadiyah mudah mengikuti arus dan mudah didikte sekalipun untuk mencoret asas Islam dari Undang-Undang Dasamya sendiri. Ya, oportunis, menjual diri dengan harga yang murah untuk membela yang bathil.

Sebagai orang yang konsekuen terhadap sikapnya, beliau Kartosuwiryo rela dipecat dari partainya sendiri, bahkan rela menyongsong maut ditembus peluru dalam memperjuangkan Darul Islam yang dicetuskan pada tanggal 7 Agustus 1949 di Jawa Barat.

Beliau tertangkap pada tanggal 4 Juni 1962, setelah bergerilya 13 tahun lamanya. Kemudian beliau diadili pada bulan Agustus 1962 dan dieksekusi mati pada bulan September 1962.

Konon, untuk berubah dari tuntutan hukuman mati, kepadanya diminta supaya bersedia mencabut bai'atnya dan membatalkan proklamasi Darul Islam. Tawaran itu beliau tolak dan rela syahid ditembus peluru yang berlumuran darah. Itulah dia sikap pejuang yang jantan dan istiqamah, konsekuen dalam membela pendiriannya. Cuma ada pertanyaan masyarakat yang belum terjawab sampai kini: Mengapa begitu cepat dieksekusi mati? Padahal Dr. Subandrio, tokoh G.3O.S/PKI juga telah divonis mati, tetapi sampai sekarang hampir 30 tahun sudah, eksekusi mati belum dilaksanakan juga, malah akhirnya dibebaskan dari penjara oleh pemerintahan Soeharto. Mengapa ada ukuran ganda dalam pelaksanaan hukuman?

Bandingkanlah keteguhan pendirian Kartosuwiryo ini dengan sikap tokoh-tokoh Masyumi yang menyerah kalah dalam pemberontakan PRRI/ RPI di Sumatera. Untuk keluar bebas dari tahanan politik, kepada mereka disodorkan surat perjanjian yang berisi antara lain: Berjanji taat kepada Pancasila dan UUD 1945. Padahal mereka telah dengan tegas menolak Pancasila dan UUD '45 itu dalam sidang konstituante Bandung pada tahun 1957. Jelas mereka tidak istiqamah, tidak konsekuen dan tidak konsisten. Mereka tidak lulus dari testing politik, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh Kartosuwiryo. Sebenarnya kalau mereka menolak juga tidak ada resikonya.

Saya kira pemerintah menyodorkan surat perjanjian itu, hanyalah sekedar "ujian" dan gertak belaka, karena hal itu tidak ada dasar hukumnya, tidak ada dalam peraturan atau undang-undang yang mewajibkan tahanan politik untuk bebas dari tahanan, terlebih dahulu harus menandatangani suatu perjanjian atau membuat sebuah skripsi, umpamanya.

Mendapat Restu Panglima Besar Jendral Sudirman

Setelah perjanjian Renville ditandatangani antara Indonesia dan Belanda pada tanggal 17 Januari 1948, maka pasukan Siliwangi harus "hijrah" dari Jawa Barat ke Yogyakarta, sehingga Jawa Barat dikuasai Belanda. Jelas perjanjian itu sangat merugikan Republik Indonesia. Waktu itu Jendral Sudirman menyambut kedatangan pasukan Siliwangi di Stasiun Tugu Yogyakarta. Seorang wartawan Antara yang dipercaya sang Jendral diajak oleh beliau naik mobil sang Panglima TNI itu.

Di atas mobil itulah sang wartawan bertanya kepada Jendral Sudirman:"Apakah siasat ini tidak merugikan kita?" pak Dirman menjawab, "Saya telah menempatkan orang kita di sana", seperti apa yang diceritakan oleh wartawan Antara itu kepada penulis.

Bung Tomo, bapak pahlawan pemberontak Surabaya, 10 November dan mantan menteri dalam negeri kabinet Burhanuddin Harahap, dalam sebuah buku kecil berjudul "Himbauan ", yang ditulis beliau pada tanggal 7 September 1977, mengatakan bahwa Pak Karto (Kartosuwiryo, pen.) telah mendapat restu dari Panglima Besar Sudirman.

Dalam keterangan itu, jelaslah bahwa waktu meninggalkan Yogyakarta pada tahun 1948 sebelum pergi ke Jawa Barat, beliau (Kartosuwiryo) pamit dan minta restu kepada Panglima Besar TNI itu dan diberi restu seperti keterangan Bung Tomo tersebut. Dikatakan dengan keterangan Jendral Sudirman kepada wartawan Antara di atas tadi, maka orang dapat menduga bahwa yang dimaksud "orang kita" atau orangnya Sudirman itu, tidak lain adalah Kartosuwiryo sendiri. Apalagi kalau diingat bahwa waktu itu Kartosuwiryo adalah orang penting dalam Kementerian Pertahanan Republik Indonesia yang pernah ditawari menjadi Menteri Muda Pertahanan, tetapi ditolaknya. Jabatan Menteri Muda Pertahanan itu ternyata kemudian diduduki oleh sahabat beliau sendiri, Arudji Kartawinata. Dapatlah dimengerti, kenapa Panglima Besar Sudirman tidak memerintahkan untuk menumpas DI/ TII ; dan yang menumpasnya adalah jendral AH. Nasution dan Ibrahim Adji. Alangkah banyaknya orang Islam yang mati terbunuh oleh Nasution dan Ibrahim Adji! Apakah itu bukan dosa?

Berjuang Mewujudkan Cita-Cita

Setelah memperhatikan kondisi dan situasi serta membaca peta politik, maka Kartosuwiryo mulai berjuang mewujudkan cita-citanya.

"In zeinem politischen Manifest, das kurz nach der Proklamation herausgebracht wurde, und in dem er sich gegen die Round Table Konferenz sowie di Grundig der Vereinigten Staaten van Indonesien wendet, erklart Kartosuwiryo, dass nun der Zeitpunkt gekommen sei, aan dem sich das Schiksal des Indonesischen Volkes, insbesondere der ummat Islam, entscheide. Der Kampf musse nun mit dem Islam weitergefuhrt werden bis der mardhatillah erreicht sei. Dies sei der einzige weg, die ummat Islam ven jeglicher Art von Unterdruckung auf dieser Welt und im Jenseite zu befreien. Die Feinde Allahs, der Religion, und des Negara Islam Indonesia mussten vernichtet werden, auf dass daas Gesetz des Islam in Ubereinstimmung mit der Lehre des Koran und der sunna des Propheten voll und ganz uberall in Indonesien verwirklicht werde"

Terjemahan SIN :

"Dalam Manifesto politiknya yang dikeluarkan tidak lama setelah proklamasi (Negara Islam Indonesia, SIN) dicanangkan, dan diadakannya Konferensi Meja Bundar yang menuju terbentuknya Negara Indonesia Serikat. Kartosuwiryo menerangkan, bahwa kini telah tiba saatnya untuk menentukan nasib bangsa Indonesia, khususnya ummat Islam. Perjuangan kini haruslah dilaksanakan lebih luas lagi dengan Islam, agar dapat tercapai Mardhatillah. Itu adalah satu-satunya cara (jalan) yang akan melepaskan ummat Islam dari segala bentuk penindasan di dunia dan di akhirat. Musuh Allah, (musuh) agama, dan (musuh) Negara Islam Indonesia haruslah dibinasakan, agar hukum Islam yang sesuai dengan ajaran Al-Qur'an, sunnah Nabi dapat terwujud secara lengkap di seluruh Indonesia".

Kartosuwiryo Sebagai Pemimpin Dan Wartawan

Dalam kongres Partai Syarikat Islam Hindia Timur (PSIHT), Desember 1927, Kartosuwiryo terpilih sebagai Sekretaris Umum (kini Sekjen) PSIHT. Dan dalam perkembangannya diputuskan bahwa, pengurus besar Partai dipindahkan ke Jakarta. Apabila Kartosuwiryo dilahirkan tanggal 1 Februari 1905, maka ketika ia terpilih sebagai Sekjen itu baru berumur 22 tahun. Setibanya di Jakarta, di samping bekerja sebagai Sekjen partai, dia juga terjun dalam bidang jurnalistik, bekerja sebagai redaktur "Fajar Asia ", surat kabar harian yang dikelola partai. Dalam waktu 16 bulan saja, dia terus berhasil naik dari korektor, reporter, wartawan dan akhirnya sebagai pejabat Kepala Redaksi. Sewaktu Agus Salim melawat ke Genewa untuk menghadiri Konferensi Liga Bangsa-bangsa dan Cokroammoto jatuh sakit, Kartosuwiryo dipercaya memimpin surat kabar "Fajar Asia" itu.

Dalam usia 22 tahun, Kartosuwiryo menjadi redaktur "Fajar Asia", dan mulailah ia menulis artikel. Mula mula ditujukan kepada penguasa kolonial, kemudian juga ditujukan kepada kaum bangsawan Jawa. Dalam artikelnya itu tergambar selain pendirian radikalnya juga sikap politiknya. Begitulah dia mengkritik Sultan (seharusnya: Sunan, sin) Solo, sewaktu merayakan HUT-nya yang ke-64 dan mengundang wartawan Belanda.

Mengenai Sunan dia menulis :

"Rasa kebangsaan ta'ada; ke-Islaman poen demikian poela halnja, kendatipoen ia menoeroet titelnja menjadi kepala agama Islam. Bangsanja dibelakangkan dan bangsa lain diberi hak jang lebih dari batas...... Jang soedah terang dan njata ialah: Boekan karena tjinta bangsa dan tanah air,.... melainkan karena keperloean diri sendiri belaka, keperloean yang bersangkoetan dengan kesoenanannya".

Kartosuwiryo dengan tulisan-tulisannya itu menyebabkan banyak mendapat musuh, baik dari kalangan penguasa, lebih-lebih dari kalangan bangsanya sendiri, dari golongan kaum nasionalis sekuler.

Menurut Holk H. Dengel, artikel-artikel yang tajam tidak ditandai dengan namanya sendiri, tetapi dengan nama samaran, yaitu Arjo Djipang.

"Kebangsaan kita dianggap aneh oleh Darmo Kondo. Djanganlah kira kalaoe kita kaoem kebangsaan jang berdasarkan kepada Islam dan ke-Islaman tidak berangan-angan Indonesia Merdeka. Tjita-tjita itoe boekan monopolinja collega dalam Darmo Kondo. Dan lagi djangan kira, bila kita orang Islam tidak senantiasa beroesaha dan ichtiar sedapat-dapatnja oentoek mentjapai tjita-tjita kita, soepaja kita dapat mengoeasai tanah air kita sendiri. Tjoema perbedaan antara collega dalam Darmo Kondo dan kita ialah, bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia bagi Nasionalisme kebangsaan Indonesia jang di njatakan oteh redaksi Darmo Konda itoe adalah poentjaknja jang setinggi-tingginya. Sedang kemerdekaan negeri toempah darah kita bagi kita hanjalah satoe sjarat, satoe djembatan jang haroes kita laloei oentoek mentjapai tjita-tjita kita jang lebih tinggi dan moelia, ialah kemerdelaran dan berlakoenja agama IsIam di tanah air kita Indonesia ini, dalam arti kata jang seloeas-loeasnja dan sebenar-benarnja. Djadi jang bagi kita hanja satoe sjarat itoe, bagi redaksi Darmo Kondo adalah maksoed dan toedjoean idoep jang tertinggi.

"Pertama-tama adalah kita moeslim, dan di dalam kemoesliman kita itoe adalah kita Nasionalist dan Patriot, jang menoedjoe kemerdekaan negeri toempah darah kita tidak tjoema dengan perkataan-perkataan jang hebat dalam vergadering sadja, tetapi pada tiap-tiap saat bersedia djoega mendjandjikan korban sedjalan apa sadja jang ada pada kita oentoek mentjari kemerdekaan negeri toempah darah kita.

Negara Islam

Darul Islam atau Negara Islam itulah puncak cita-cita Kartosuwiryo yang hendak dicapainya dengan perjuangan yang gagah berani.

Sementara itu ada pihak-pihak yang sinis mengatakan bahwa negara Islam itu tidak ada tersebut dalam Al-Qur'an. Inilah bicara yang tidak bertanggung jawab, karena kurangnya ilmu dan pengertian terhadap kitab suci itu. Yang amat menyedihkan, ucapan itu keluar dari kaum intelektual atau sarjana yang pernah belajar di negeri sekuler di luar negeri walaupun yang mengucapkan anak ulama sendiri. Ironisnya ialah para orang tua mereka dulu setiap pidato dimana-mana meneriakkan agar terwujudnya negara Islam, sedang anak-anak mereka membatalkan apa yang dikatakan orangtuanya, bahwa dalam Al-Qur'an tidak di sebut Allah Negara lslam.

Numpang tanya: Apakah dalam UUD '45 ada kata Pancasila? Tidak ada ! Kata Pancasila memang jelas tidak ada, tetapi bila orang mau mengerti dan membaca dengan teliti, maka jelas makna Pancasila ada dalam Mukaddimah UUD 1945 itu.

Demikian pula dalam Al-Qur'an, tak ada terdapat dan tertulis kata "Darul Islam" atau "Daulah Islamiyah". Tetapi bila orang mengerti dan mau mendalami pengetahuan agama Islam terutama tentang tafsir Al-Qur'an, maka tak ragu lagi bahwa mereka akan banyak bertemu dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang mengarah dan menuju Negara Islam itu. Ya, dapatlah dikatakan bahwa 6236 ayat Al-Qur'an di wahyukan Allah sebagai pedoman untuk membentuk masyarakat dan negara Islam yang sempurna dan ideal.

Ambillah sebuah ayat yang artinya berbunyi : "Masuklah kalian ke dalam agama Islam secara total menyeluruh, dun jangan kalian ikuti langkah-langkah syetan". (Qs. Al-Baqarah, 2:208).

Maksud total menyeluruh (kaffah) itu ialah dalam seluruh lapangan dan sektor kehidupan masyarakat dan negara, ummat Islam harus Islami atau berdasarkan Islam. Politik, ekonomi, kultural, pendidikan, kebudayaan dan lain lain, seluruhnya harus Islami atau berdasarkan Islam. Sayangnya ayat ini tidak direnungkan dan diterjemahkan dalam kehidupan bermasyrakat dan perjuangan kaum muslimm. Kaum intelektual kita lebih senang menggeluti dan menghayati kitab-kitab atau buku-buku iptek saja, buku-buku ekonomi atau buku-buku keagamaan yang ditulis oleh kaum orientalis yang anti Islam atau yang menuduh orang--orang yang ingin menerapkan ajaran Al-Quran dan sunnah secara murni, konsekuen dari konsisten sebagai "Fundamentalis dan Ekstrim".

Dan Alhamdulillah, mahasiswa-mahasiswa Islam yang lulusan Universitas atau Perguruan Tinggi Islam tidak ada terdengar yang berlaku sinis terhadap kitab suci Al-Qur'an itu, bahkan mereka ingin berjuang menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup bagi masyarakat dan negara. Yang sinis itu pada umumnya orang-orang yang pengetahuan agamanya terlalu minim atau orang-orang yang imannya lemah atau rusak karena diracuni oleh ajaran-ajaran sekuler yang sesat dan menyesatkan orang banyak seperti yang dilakukan oleh kaum nasionalis yang sekuler (kafir).

Dalam Qur'an surat Al-Baqarah ayat 208 itu, Allah swt. melarang kita menuruti langkah-langkah syetan yang menyesatkan kita. Jadi menyimpang dan Al-Qur'an dan sunnah, menyimpang dari masyarakat dan negara Islarn itu berarti menuruti langkah-langkah syetan yang merugikan dan menyesatkan kaurm muslimin.

Dan dalam manifest politik Kartosuwiryo seperti yang disebutkan di atas tadi, jelaslah bahwa beliau mengajak umat Islam untuk mencapai Mardhatillah, yaitu dengan menegakkan hukum Islam yang sesuai dengan Al-Qur'an dan sunnah Rasul. Itulah cita-cita Kartosuwiryo yang ingin dicapainya dengan perjuangan yang gagah perkasa.

Terus terang, penulis bukanlah pengikut Imam S.M. Kartosuwiryo. Tetapi kita semua dapat menghargai pemimpin yang jujur dan ikhlas berjihad memperjuangkan cita-citanya sebagaimana halnya Kartosuwiryo. Ia syahid sebelum cita-citanya tercapai, namun dia telah menebus cita-citanya yang mulia itu dengan darah dan jiwanya sendiri, seperti halnya pemimpin-pemimpin Ikhwanul Muslimin Mesir yang syahid di atas tiang gantungan musuh-musuhnya yang zalim. Berbeda dengan Abdul Qadir Audah, seorang hakim dan sarjana hukum di Kairo yang divonis mati dan dieksekusi di tiang gantungan, tetapi persatuan pengacara Mesir memprotes dan sepakat menuntut pemerintahnya supaya diadakan sidang pengadilan ulangan untuk mengetahui bagaimana jalannya pengadilan itu supaya diketahui oleh umum. Dan terhadap Kartosuwiryo yang divonis dalam sidang pengadilan tertutup, tak seorangpun pengacara Indonesia atau persatuan pengacara yang menuntut ulang bagaimana sidang pengadilan berlangsung. Namun demikian, ia tetap dipandang dan dicatat sejarah sebagai pemimpin yang istiqamah, konsekuen dan konsisten sampai akhir hayatnya.

Allah berfirman: "Janganlah kamu berkata tentang orang yang syahid di jalan Allah, bahwa mereka itu telah mati. Tidak! Mereka itu tetap hidup, meskipun kamu tidak menyadarinya". (Qs. Al Baqarah : 154).

Wabillahi Taufiq Wal Hidayah, wabillahi fi sabilil Haq.

Tidak ada komentar: